Naskah Tanjung Tanah merupakan suatu naskah fenomenal bagi masyarakat Sumatera. Naskah itu ditulis dengan menggunakan aksara Sumatera Kuno dengan menggunakan Bahasa Sanskerta dan Bahasa Malayu Kuno. Naskah ini masih tersimpan dengan baik di Tanjung Tanah, Mendapo Seleman, dengan jarak 15 km dari Sungai Penuh, Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi (Wikipedia).
Sebagaimana yang terjadi di Masyarakat Kerinci, undang-undang tersebut merupakan bagian dari kelaziman yang terjadi di tengah masyarakat Malayu secara umum. Ketika ada yang bersalah, salah satu hukumannya adalah dengan denda. Sampai sekarang tradisi kuno itu masih berlanjut dalam masyarakat adat baik di Minangkabau atau Kerinci. Baik Minangkabau atau Kerinci memiliki diagram Venn secara tradisi, ada tradisi-tradisi tertentu atau kebiasaan tertentu yang mereka kedua-keduanya sama-sama menggunakannya. Tentu saja itu bukanlah hal yang mengherankan karena pada masa lalunya antara kawasan Minangkabau dan Kerinci terjadi saling tukar budaya. Kerinci merupakan salah satu kawasan Rantau dari masyarakat Minangkabau juga pada masa lalu. Tentu saja masyarakat Kerinci telah ada di sana sebelumnya.
Ada satu perkataan yang unik dijumpai dalam Undang-Undang Tanjung Tanah Tersebut, yakni denda untuk pencuri (maling) anjing mawu pada alih bahasa naskah nomor 10. Kata mawu tidak diterjemahkan oleh Uli Kozok dalam alih aksara yang dia lakukan (cek di sini). Kawa mawu sebenarnya masih lestari digunakan sampai saat sekarang. Mawu ini artinya adalah terlatih. Kata ini masih digunakan oleh Masyarakat Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Frasa yang masih sering terdengar (tahun 1990-an) adalah buruang mawu (burung terlatih yang sudah pandai berkicau ketika diberi aba-aba). Oleh sebab itu bisa digunakan untuk burung balam (balam mawu), perkutut (katitiran mawu) dan burung-burung peliharaan lain yang sudah pintar berkicau.
Denda pencurian di Kerinci pada masa itu salah satunya dengan emas, denda emas ini masih lestari pula sampai sekarang baik di kawasan Kerinci atau Kawasan Minangkabau sebagai denda adat jika ada yang melakukan kesalahan terhadap aturan-aturan adat yang berlaku.
Nara sumber: A. Dt Batuah, Koto Baru, Solok (1993).