Sunday, January 11, 2009

Pengamen Bule dari Kanada di Stasiun Ikebukuro

Inilah pekerjaan sampingan saya, jadi penyair dadakan, jadi penulis dengan alasan melatih kemampuan menulis disertasi. Apa bisa ya?... Silakan dibaca jika minat, setelah suntuk dengan rutinitas seperti rutinitas train yang mengantarkan kita ke kampus. Di sini benar2 hemat bicara sesama anggota kampus, mereka sibuk dengan kerja, atau memelototi komputer seharian. Pelajar asing lebih mudah diajak bicara dan bercanda....

Hari ini saya agak cepat pulang, baru jam setengah sembilan malam. Para sensei dan mahasiswa di lab kebanyakan belum pulang. Kantor dan Lab di sana adalah pusat segalanya. Di sana mereka makan, minum, diskusi dan sebagainya. Teman dari Srilangka bilang, mereka hang-out nya di kampus, bukan di bar. Jam kerja mereka bisa sampai 120 jam seminggu. Kerja mereka seperti kerja romusha di jaman pra kemerdekaan. Sepertinya ini benar mereka lakukan. Keluar dari gedung kampus, udara di luar sudah terasa dingin, suhu hari ini di Tokyo menunjukkan 11 C, dengan taksiran suhu tertinggi 13 C dan terendah 8 C. Dari Kampus berjalan kira-kira lima menit ke stasiun Hongo Sanchome dan naik train Marunochi Line ke Ikebukuro.

Di Ikebukuro saya keluar stasiun, ingin jalan-jalan dulu mengelilingi daerah di atas stasiun. Di sekitar stasiun di jumpai 2 grup pengamen bangsa Jepang dan sekaligus menjual hasil karya mereka. Di sana ada toko busana Hermes, kalau di Indonesia mereka cuma bisa ambil tempat di mal beberapa petak. Di sini merk2 mahal punya atau menempati gedung sendiri-sendiri. Saya pernah lihat sepatu tinggi merk Chanel untuk perempuan harganya murah sekali cuma JPY 210.000. Ya kira-kira Rp 23 juta buat sepatu musim dingin saja. Saking murahnya, jika benar-benar niat beli (mungkin tidak niat), maka harus puasa selama lebih dari 40 hari empat puluh malam tidak makan minum atau keluarkan uang satu yenpun untuk keperluan lain. Benar juga ya, kalau memang ingin mendapatkan sesuatu yang hebat dan berharga, kita harus puasa. Pada jaman dahulu orang puasa selama itu untuk dapat kesaktian, sekarang, mungkin buat beli sepatu Chanel, atau kamera canggih. Membaca di majalah sih pernah harga sepatu semahal itu, tapi melihat langsung, ya baru di sini, heheh. Apakah di Indonesia tidak ada toko yang menjual sepatu semahal itu? Pasti ada di Jakarta, saya tidak tahu dimana, kalaupun tahu, masuk ke sanapun tidak enak, suasananya demikian mewah dan ekslusif, ketahuan benar kita tidak bakal beli. Dan juga takut sama KPK, jangan-jangan mereka pasang kamera rahasia di sana. Masak PNS bisa beli sepatu harga segila itu. Heheheh.
Puas jalan-jalan, saya masuk ke stasiun lagi dan ternyata ada lagi pengamen di dalam stasiun di dekat gerbang masuk ke train Yurakucho Line. Pengamen ini rapi sekali, ini agak beda, karena satu ini bule. Ini adalah bule pertama yang saya jumpai jadi pengamen. Petikan gitar nada klasik dimainkannya dengan bersih dan bagus serapi stelan yang dia kenakan. Senyuman dan keramahannya menebar kepada penumpang stasiun yang singgah menyaksikan kelihaiannya memetik gitar. Nada melankolik Latinnya benar-benar menghanyutkan di tengah ramainya suasana stasiun. Jam segini orang-orang baru pulang kerja. Bule itu memberi brosur bahasa Jepang dan saya tolak sampai mengatakan saya tidak bisa membaca tulisan Kanji. Dia tanya saya dari mana, dan saya jawab dari Indonesia. Lalu dia mainkan sebuah lagu untuk saya. Dia menjual CD dengan kemasan yang bagus dan apik seperti CD di toko musik. Dua judul lagu telah dia mainkan, sepertinya selera musik kami sama yakni petikan-petikan minor melankolik Spanish. Ya anggaplah saya dan dia satu aliran musik. Bule ini berasal dari Kanada. Jauh benar dia ngamen ke Tokyo. Ini dibuktikan dengan bendera dengan gambar daun maple (Acer saccharum) merah di dekat dia duduk. Mengingat mainnya bagus sekali saya bertanya-tanya apakah ini pengamen top (maksudnya artis ternama) yang mencoba menyamar menjadi pengamen stasiunan. Sambil mendengar musik saya masukkan tangan ke saku celana dan teraba ada tiga uang koin. Dia koin itu saya tarok di tempat yang disediakan pengamen itu. Rupanya JPY 115. Mungkin inilah uang receh terbesar yang kasih untuk pertama kalinya kepada pengamen. Di saat krisis mata uang Indonesia, nilai Yen menguat terhadap rupiah, hari ini nilainya sekitar JPY 100 = IDR 11600. Jadi saya telah menyumbang untuk pengamen Rp.13,340. Nilai itu artinya satu kali mandi pakai koin di Dormitory tempat saya tinggal (JPY 100) ditambah dengan satu kali masak pakai kompor listrik (JPY 10), sisa JPY 5. Semuanya bayar di sini, kecuali pipis masih gratis.
Di sepanjang jalan bawah tanah stasiun Ikebukuro, ada kira-kira 5-6 gelandangan yang biasanya saya temui, mereka biasanya duduk dan tidur di tepi lorong stasiun yang lebarnya kira-kira 20 meter. Kehangatan lingkungan stasiun membuat mereka betah di sana dibandingkan dengan di luar yang udaranya dingin. Mereka ada yang berdiskusi sesama gelandangan sambil mengutak-atik handphone. Mungkin dia pakai sofutbangku (Softbank) kali heheheh, kan gratis sesama dari tengah malam sampai siang hari penuh. Saya belum berani tanya. Operator telpon Softbank umumnya dipakai oleh mahasiswa dan imigran yang berada di Jepang. Murah meriah dan puas, biaya bulanan sekitar JPY 900 - 1500 (sekitar Rp. 200ribu) dikasih HP gratis lumayan bagus lagi. Biaya telpon baru dikenakan dari jam 9 malam sampai jam 1 pagi. Setelah itu gratis. Ini kan option bagus buat kita-kita yang pas-pasan hidup di Jepang. Gelandanganpun pas-pasan hidupnya, ya mungkin saja dia pakai softbank kan? Ini adalah praduga bersalah. Semoga saya salah. Beberapa gelandangan ada yang tidur-tiduran, ada yang jadi penulis, entah apa yang ditulisnya, atau bikin haiku (puisi Jepang) kah? Krisis ekonomi juga melanda Jepang. Perdana menteri yang naik sekarang juga kata beberapa kaum terpelajar tidak terlalu pintar, tapi top. Mereka juga mengatakan tidak menjumpai gelandangan di Tokyo kira-kira 30 tahun yang lalu. Di sekitar stasiun Shinjuku lebih parah lagi, gelandangan tidur di sana dengan memakai kardus seperti gelandangan di Indonesia. Sekarang banyak orang yang jobless, lulus universitas belum jamin dapat kerja. Jadi sebagian jadi gelandangan, atau masuk ke dalam kehidupan remang-remang, atau mungkin bunuh diri menghamburkan diri ke rel train karena tidak tahan penderitaan hidup. Angka bunuh diri di Jepang pertahun kira-kira 30.000 kasus.
Saya tidak tahu apakah setelah train terakhir kira-kira jam 1 malam mereka diusir dari sana atau tidak. Stasiun tutup jam 1 malam, dan buka lagi kira-kira jam 5 pagi. Kalau diusir kasihan juga, mereka seharusnya mendapatkan tempat yang hangat di tengah malam yang dingin, eh malah di suruh ke alam terbuka. Nasib gelandangan Indonesia di musim hujan lebih baik dari mereka di musim dingin jika mereka tidak tidur di stasiun.

Melihat suasana malam ini saya teringat dengan pepatah nenek moyang dulu yang bunyinya kira-kira begini...
Jauah bajalan banyak nan diliek (Jauh berjalan banyak yang dilihat)
Lamo iduik banyak nan dirasoi (Lama hidup banyak yang dirasakan)
Adaik tuo manahan ragam (Sudah menjadi tabiat orang tua menahan hati, mengusap dada melihat tingkah laku manusia)
Adaik nan mudo manangguang rindu (Sudah tabiat bagi yang muda menanggung kerinduan yang dalam).

Karena saya masih muda, saya pun menanggung rindu yang dalam, kepada putri dan isteri tercinta, rindu suasana bercanda dengan teman2 di FKIK ketika mahasiswa sudah pulang, rindu pada palai bada, martabak mesir, pepes ikan mas, tongseng kambing, dan juga wajah mahasiswa saya yang lucu-lucu ketika ditanya di dalam kelas...

Tunggu ya tulisan berikutnya, semoga masih ada lagi....

No comments:

Anjing Mawu - Anjing Terlatih dan Denda Emas dalam Naskah Tanjung Tanah

Naskah Tanjung Tanah merupakan suatu naskah fenomenal bagi masyarakat Sumatera. Naskah itu ditulis dengan menggunakan aksara Sumatera Kuno d...