--- tulisan ini adalah koleksi lama saya ketika S2 di UI dulu ---
Apakah Sekarang Awal Kepunahan Bahasa Minangkabau?
Ketika saya pergi lebaran ke rumah seorang kenalan di Padang. Saya bertemu dengan keponakannya yang masih kecil duduk di sekolah taman kanak-kanak. Pada saat itu terjadilah terjadilah dialog, bukan dengan bahasa Minangkabau, namun dengan bahasa Indonesia. Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan penggunaan bahasa Indonesia tersebut karena bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan, bahasa yang digunakan untuk menjembatani perbedaan bahasa suatu bangsa dengan bangsa lain di wilayah nusantara ini.
Masalah sebenarnya adalah kenapa bahasa itu digunakan untuk bicara antara mamak dengan kamanakannya yang sama-sama orang Minangkabau? Kita disini tidak akan mempertanyakan lagi penggunaan Bahasa Indonesia di dalam forum pembicaraan resmi untuk pendidikan atau pemerintahan misalnya. Ini merupakan suatu gejala yang memprihatinkan karena hampir setiap hari saya mendengar pembicaraan informal sesama anak-anak tidak lagi memakai bahasa Minangkabau di kota Padang ini. Saya tidak punya data kuantitatif yang menjelaskan berapa persen anak-anak di Kota Padang menggunakan bahasa Minangkabau dalam percakapan sehari-hari sekarang ini. Padahal pada masa dahulunya bukan saja orang Minang yang fasih melainkan para pendatangpun (etnis China, Melayu, Jawa, Batak/Tapanuli, Aceh) sanggup berbahasa Minangkabau dengan fasih. Faktor percaya diri masyarakat Minangkabau dalam menggunakan bahasa mereka sendiri di masa lalu menjadikan bahasa Minangkabau menjadi suatu identitas budaya di negeri sendiri. Apakah sekarang percaya diri sebagai masyarakat yang punya identitas budaya sendiri telah luntur atau kita tidak mengerti lagi dengan semboyan bhinneka tunggal ika itu?.
Apakah sekarang sedang berlangsung gejala penghapusan bahasa Minangkabau yang telah melahirkan banyak pemikir/pemimpin bangsa di kawasan Nusantara ini semenjak beratus-ratus tahun yang lalu?. Tanpa kecerdasan intelektual para pendahulu kita tentulah tidak bisa menempati posisi jabatan penting di Kerajaan Goa (Sulawesi), Bima, Pulau Seludang (sekarang Luzon, Filipina), Negeri Sembilan, Sulu dan Mindanao, sampai pada tokoh-tokoh zaman kemerdekaan Indonesia. Bahasa Minangkabau yang penuh
nilai-nilai dalam bahasa kiasan atau simbolik dan merujuk kepada hukum alam sudah pasti mempunyai peranan penting dalam membentuk kecerdasan pendahulu kita.
Atau apakah orang tua sekarang takut dibilang kampungan atau ingin kelihatan lebih terpelajar dan modernkah sehingga merasa tidak perlu mengajarkan Bahasa Minangkabau lagi? Tidakkah kita perhatikan ratusan ungkapan pepatah petitih menuntut orang memeras otaknya dan menggunakan pisau analisa yang kuat agar bisa memahami dan menalar alam pikiran Minangkabau yang unik ini?. Maka, apakah logis kalau kita mencap warisan pusako kato Minangkabau yang dapat membentuk berpikiran tajam, analitis dan mengandung seni berbahasa yang indah bisa disebut kampungan?
Atau kenapa orang tua zaman sekarang tidak rela membiarkan anak-anak mereka menguasai lebih banyak bahasa semenjak dini? Padahal dalam syarak (Islam) sudah jelas-jelas mengatakan bahwa kita harus banyak mempelajari bahasa suatu kaum. Menguasai lebih banyak bahasa seperti: bahasa Minangkabau, bahasa Indonesia, Arab, Inggris, Perancis, Mandarin, dsb lebih diinginkan oleh ajaran agama kita daripada cuma tahu satu bahasa saja.
Bahasa merupakan media utama untuk menghantarkan kita menuju pengetahuan. Penguasaan bahasa Minangkabau akan menjadi modal generasi-generasi penerus untuk membuka peti badanciang Alam Minangkabau yang berisi filosofi yang tinggi dan bermutu ini. Ada ribuan pantun, ibarat, mamang, bidal dan sebagainya yang mengandung unsur-unsur spiritual, seni pergaulan universal, pendidikan, kepemimpinan, sosial ekonomi, cara berpikir analitis, etika dan pengetahuan alam. Pada Pidato Pakaian Panghulu misalnya terdapat ungkapan yang indah dengan sarat nilai yang dapat menghantarkan anak-anak kita kelak mengetahui bahwa orang yang pantas jadi pemimpin itu adalah orang yang cerdas, tidak mau didikte kekuatan asing, taqwa, punya pendirian, menyejahterakan rakyatnya, taat peraturan dan tidak berat sebelah. Kalau kita lihat Bahasa Minangkabau kita akan banyak menemukan banyaknya bahasa perumpamaan dan kias yang merujuk kepada alam. Bahasa Minangkabau adalah bahasa simbolis yang dapat mengaktifkan otak kanan dan kiri, bermain antara alam rasa dan pikiran. Perumpamanan bahasa simbolis dan kias akan merangsang kecerdasan mereka yang masih kecil-kecil atau yang sudah dewasa sekalipun. Ada unsur tasurek (tersurat),
tasirek (tersirat) dan tasuruak (tersembunyi atau hikmah) dalam pusako kato Minangkabau.
Kata-kata kias memiliki makna berlapis yang telah diwarisi semenjak dahulu kala merupakan sarana untuk mengasah intelektual orang Minangkabau semenjak kanak-kanak di masa dahulunya. Kata-kata itu tidak saja indah diucapkan tetapi mengandung pengertian yang dalam dan menukik yang tentu saja diketahui dan difahami jika generasi sekarang masih mempergunakan bahasa
Minangkabau. Kemampuan menyusun bahasa yang indah itu juga dilaporkan oleh orang Mesir dari buku Khutub Khasanah yang ditulis pada sekitar awal abad ke 1 M, yang sekarang masih tersimpan di gedung Arca, Kairo menyebutkan adanya sebuah negeri pada sebuah pulau di bawah angin dimana wilayahnya merupakan perlintasan katulistiwa, terkenal dengan orang-orangnya ahli syair yang tinggi mutunya (Emral Djamal, 2003).
Nenek moyang kita menyadari bahwa orang yang mempunyai pengetahuan akan menjadi bangsa terhormat dan berpengaruh. Peran Nabi Muhammad SAW yang mengangkat bangsa Arab menjadi bangsa beradab dan berpengaruh selama abad pertengahan sebagai contohnya. Demikian juga bangsa Israel yang hanya 6 juta orang tapi memiliki banyak pakar-pakar ilmu dari berbagai bidang. Mereka sanggup mengatur sebuah negara adidaya Amerika dan Uni Eropa sehingga negara besar itu membiarkan saja mereka sewenang-wenang bahkan rela mati untuk bangsa Israel seperti apa yang diungkapkan didalam pidato mantan PM Malaysia dr.Mahathir Mohammad.
Marilah kita amati beberapa ungkapan-ungkapan lama warisan nenek moyang kita berikut ini tentang pentingnya ilmu pengetahuan. Ungkapan-ungkapan yang indah pada Pidato Siriah Pinang ini mengandung nilai simbolik yang tinggi bercerita tentang ilmu pengetahuan. Ilmu manakah yang dicari? Pepatah lama mengungkapkan bahwa ilmu yang dicari itu adalah ilmu yang dapat dipakai dan diterapkan dalam kehidupan nyata seperti ungkapan sabanyak itu siriah di balai, sado iko nan ado di dalam carano, iyo ka jadi kapalo baso (walaupun banyak ilmu pengetahuan--disimbolkan dengan sirih-- yang bertebaran di dunia, hanya pati-pati pengetahuan inilah yang akan digunakan di dalam kehidupan sehari-hari). Ilmu yang dikuasai itu hendaknya memiliki kemampuan untuk melintasi terpaan kekuasaan dan perubahan zaman (satahun dipuga Bugih, samusin dilingkuang Cino, usah ka ratak,
rangehpun tidak) serta bisa dipertahankan kebenarannya (luruih manahan tiliak, bababeh manahan cubo, bungka manahan asah). Para pendahulu kita yakin dengan kebenaran filosofi yang dimilikinya karena dasar dari filosofi tersebut merujuk kepada alam yang ditata dengan apik dan seimbang oleh Sang Pencipta. Hasil penataan yang luar biasa ini disebut sunatullah atau di dalam adat dinyatakan sebagai adat nan sabana adat, indak lakang dek paneh, indak lapuak dek hujan
Kesungguhan, kerja keras diiringi sikap yang saleh harus menjadi tabiat dari si penuntut ilmu agar ia tidak membuang sumber dayanya (waktu, uang dan usia) dengan sia-sia. Buah atau inti pengetahuan hanyalah untuk orang yang sungguh dan ulet yang diibaratkan urang kiramaik atau diungkapkan dengan kalimat: satahun tupai balari haram kok basobok jo buahnyo antah ko
urang kiramaik iduik-iduik.
Pati pengetahuan itu menjadi landasan untuk menciptakan inovasi-inovasi baru, gagasan-gagasan baru seiring dengan perkembangan zaman yang senantiasa berlandaskan dengan nilai-nilai luhur dan kemanusiaan seperti yang diungkapkan dalam: samusin siriah di dalam pangguluangan, usah ka layua, malah batambah iduik.
Orang yang memiliki ilmu pengetahuan akan menjadi terhormat di kalangan masyarakat (makanan rajo jo panghulu). Akhirnya ilmu pengetahuan yang dimiliki itu seharusnya membuat kita dekat dengan kehidupan bumi dan langit atau aspek spriritual (saheto dari bumi, sajangka dari langik). Kontribusi pengetahuan kepada masyarakat akan membuat kita dikenang sepanjang masa
(baun nan satahun palayaran).
Begitulah sekilas kutipan pidato sirih pinang yang menuntut orang Minangkabau memiliki pengetahuan dilandasi dengan iman dan ketaqwaan kepadaNya dan punya kepribadian tangguh dan ulet. Tak satupun dijumpai dalam pepatah petitih itu yang mengajari anak cucu Minangkabau menjadi orang yang biadab, anarkhis, inferior, licik, egois dan antisosial. Nilai-nilai berharga itu tentu saja hanya akan dipahami jika sang anak mengerti bahasa nenek moyangnya, yakni Bahasa Minangkabau.
Kita banyak mendengar dari saudara-saudara kita yang pulang dari luar negeri tentang sikap percaya diri orang-orang Jepang, Perancis, Jerman, Swedia, Perancis menggunakan bahasa mereka. Walaupun mereka bisa berbahasa Inggris, mereka tidak akan berbicara dengan kita dalam bahasa Inggris kalau tidak terpaksa. Sikap percaya diri ini merupakan wujud dari kesadaran mereka untuk mendukung dan menghargai bahasa mereka. Kita memang menyadari bahwa masa-masa yang sulit selama ratusan tahun dalam kungkungan penjajahan, tidak saja menguras kekayaan alam, tetapi juga mempengaruhi alam pikiran bangsa ini. Pembodohan yang berabad-abad selama terjajah menimbulkan rasa rendah diri dan tidak percaya diri atas kekuatan sendiri. Namun bukanlah pada tempatnya kita senantiasa terjebak dalam suasana rendah diri setelah menikmati alam kemerdekaan ini.
Budaya daerah adalah aset nasional, menghapus budaya Minangkabau berarti juga telah menyia-nyiakan aset nasional. Sungguh ironi sekali berbagai suku bangsa asing maupun dalam negeri dengan latar pendidikan tinggi jauh-jauh datang ke ranah Minang ini menghabiskan banyak waktu dan uang untuk mendapatkan pengetahuan dari budaya Minangkabau yang unik ini, sementara kita pemiliknya tidak lagi menghargai budaya sendiri. Menjaga kelestarian dan mengembangkan budaya alam Minangkabau adalah tanggung jawab kolektif oleh pewaris-pewaris budaya itu sendiri. Jika warisan ini tidak dihargai tentu bukan hal yang mustahil kalau 20-30 tahun lagi bahasa Minangkabau bisa menjadi bahasa langka didengar dalam percakapan sehari-hari
jika tidak diajarkan lagi pada generasi sekarang. Peran orang tua sangat menentukan sekali karena di tangan-tangan merekalah terletak andil pertama yang sangat menentukan riwayat bahasa Minangkabau di masa mendatang: apakah ia akan berkembang atau punah sama sekali ditelan bumi. Akan lenyapkah sebuah bahasa yang sarat dengan nilai-nilai serta punya kekuatan untuk pengembangan nalar dan alam rasa di bumi tempat budaya itu tumbuh?
Upaya pelestarian kato pusako ini telah dilakukan oleh orang-orang yang mencintai budaya Minangkabau ini. Sebut saja diantaranya: Angku Dt Sangguno Dirajo, Dt Tuah, Prof. Nasroen, Idrus Hakimy Dt Rajo Panghulu menyusun berbagai macam buku tentang Minangkabau, Kamardi Rais Dt P Simulie, Usaha PPIM (Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau) merancang ensiklopedi Minangkabau, Bapak Abdul Kadir Usman dengan Minangkabaunya, serta Bapak Emral Djamal Dt Rajo Mudo yang konsisten selama berpuluh-puluh tahun menggali sejarah dan silek yang sarat dengan nilai-nilai tradisi tanpa digaji oleh seorangpun dan masih ada lagi tokoh-tokoh yang tak tersebutkan namanya. Adanya kurikulum BAM di sekolah-sekolah cukup membantu siswa dalam belajar budaya Minangkabau. Pekerjaan yang luhur perlu kita hargai dan dukung dalam upaya pelestarian dan pengembangan budaya agar
tidak punah dimakan jaman. Sekarang ini banyak vocabulary Minangkabau yang hanya dikenali oleh orang-orang tua saja seperti limpato, lintabuang, sitawa, sidingin, panguba, cikarau, cikumpai, tantadu, sipasin, cindai dan banyak lagi. Usaha untuk membuat ensiklopedi dalam bentuk audio-visual dalam bentuk VCD sekarang ini mungkin telah dikategorikan sebagai hal yang mendesak untuk dilakukan.
Arus globalisasi sekarang ini bukanlah alasan buat kita mengubur budaya sendiri yang merupakan ciri khas dan identitas kita sebagai sebuah bangsa yang berdaulat dan merdeka. Mengidap sikap rendah diri (inferiority complex) sama sekali tidak dapat dibenarkan, demikian juga dengan sifat fanatik yang berlebih-lebihan, seperti diungkapkan dalam pepatah: dilabihi ancak-ancak, dikurangi sio-sio. Sudah bisakah kita menghargai kebudayaan sendiri tanpa meremehkan budaya sendiri atau mendewakan budaya orang lain di abad Milenium ini?
******
H.A.Sikumbang
Mahasiswa Program S2 Farmasi UI
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Anjing Mawu - Anjing Terlatih dan Denda Emas dalam Naskah Tanjung Tanah
Naskah Tanjung Tanah merupakan suatu naskah fenomenal bagi masyarakat Sumatera. Naskah itu ditulis dengan menggunakan aksara Sumatera Kuno d...
-
GraphPad is very useful software for measuring enzyme kinetics and for determination of IC50. This time I will show you how to use that so...
-
Bahan-bahan kimia memiliki beberapa kualitas atau grade. Adapun grade tersebut dibagi 7 tingkat, mulai dari yang paling tinggi sampai yang p...
-
Sirauik bari bahulu Pisau siraut diberi hulu atau gagang Diasah mako bamato Diatas supaya tajam (muncul mat...
No comments:
Post a Comment