Saturday, February 14, 2009

Apakah Sekarang Awal Kepunahan Bahasa Minangkabau?

--- tulisan ini adalah koleksi lama saya ketika S2 di UI dulu ---

Apakah Sekarang Awal Kepunahan Bahasa Minangkabau?

Ketika saya pergi lebaran ke rumah seorang kenalan di Padang. Saya bertemu dengan keponakannya yang masih kecil duduk di sekolah taman kanak-kanak. Pada saat itu terjadilah terjadilah dialog, bukan dengan bahasa Minangkabau, namun dengan bahasa Indonesia. Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan penggunaan bahasa Indonesia tersebut karena bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan, bahasa yang digunakan untuk menjembatani perbedaan bahasa suatu bangsa dengan bangsa lain di wilayah nusantara ini.

Masalah sebenarnya adalah kenapa bahasa itu digunakan untuk bicara antara mamak dengan kamanakannya yang sama-sama orang Minangkabau? Kita disini tidak akan mempertanyakan lagi penggunaan Bahasa Indonesia di dalam forum pembicaraan resmi untuk pendidikan atau pemerintahan misalnya. Ini merupakan suatu gejala yang memprihatinkan karena hampir setiap hari saya mendengar pembicaraan informal sesama anak-anak tidak lagi memakai bahasa Minangkabau di kota Padang ini. Saya tidak punya data kuantitatif yang menjelaskan berapa persen anak-anak di Kota Padang menggunakan bahasa Minangkabau dalam percakapan sehari-hari sekarang ini. Padahal pada masa dahulunya bukan saja orang Minang yang fasih melainkan para pendatangpun (etnis China, Melayu, Jawa, Batak/Tapanuli, Aceh) sanggup berbahasa Minangkabau dengan fasih. Faktor percaya diri masyarakat Minangkabau dalam menggunakan bahasa mereka sendiri di masa lalu menjadikan bahasa Minangkabau menjadi suatu identitas budaya di negeri sendiri. Apakah sekarang percaya diri sebagai masyarakat yang punya identitas budaya sendiri telah luntur atau kita tidak mengerti lagi dengan semboyan bhinneka tunggal ika itu?.

Apakah sekarang sedang berlangsung gejala penghapusan bahasa Minangkabau yang telah melahirkan banyak pemikir/pemimpin bangsa di kawasan Nusantara ini semenjak beratus-ratus tahun yang lalu?. Tanpa kecerdasan intelektual para pendahulu kita tentulah tidak bisa menempati posisi jabatan penting di Kerajaan Goa (Sulawesi), Bima, Pulau Seludang (sekarang Luzon, Filipina), Negeri Sembilan, Sulu dan Mindanao, sampai pada tokoh-tokoh zaman kemerdekaan Indonesia. Bahasa Minangkabau yang penuh
nilai-nilai dalam bahasa kiasan atau simbolik dan merujuk kepada hukum alam sudah pasti mempunyai peranan penting dalam membentuk kecerdasan pendahulu kita.

Atau apakah orang tua sekarang takut dibilang kampungan atau ingin kelihatan lebih terpelajar dan modernkah sehingga merasa tidak perlu mengajarkan Bahasa Minangkabau lagi? Tidakkah kita perhatikan ratusan ungkapan pepatah petitih menuntut orang memeras otaknya dan menggunakan pisau analisa yang kuat agar bisa memahami dan menalar alam pikiran Minangkabau yang unik ini?. Maka, apakah logis kalau kita mencap warisan pusako kato Minangkabau yang dapat membentuk berpikiran tajam, analitis dan mengandung seni berbahasa yang indah bisa disebut kampungan?

Atau kenapa orang tua zaman sekarang tidak rela membiarkan anak-anak mereka menguasai lebih banyak bahasa semenjak dini? Padahal dalam syarak (Islam) sudah jelas-jelas mengatakan bahwa kita harus banyak mempelajari bahasa suatu kaum. Menguasai lebih banyak bahasa seperti: bahasa Minangkabau, bahasa Indonesia, Arab, Inggris, Perancis, Mandarin, dsb lebih diinginkan oleh ajaran agama kita daripada cuma tahu satu bahasa saja.

Bahasa merupakan media utama untuk menghantarkan kita menuju pengetahuan. Penguasaan bahasa Minangkabau akan menjadi modal generasi-generasi penerus untuk membuka peti badanciang Alam Minangkabau yang berisi filosofi yang tinggi dan bermutu ini. Ada ribuan pantun, ibarat, mamang, bidal dan sebagainya yang mengandung unsur-unsur spiritual, seni pergaulan universal, pendidikan, kepemimpinan, sosial ekonomi, cara berpikir analitis, etika dan pengetahuan alam. Pada Pidato Pakaian Panghulu misalnya terdapat ungkapan yang indah dengan sarat nilai yang dapat menghantarkan anak-anak kita kelak mengetahui bahwa orang yang pantas jadi pemimpin itu adalah orang yang cerdas, tidak mau didikte kekuatan asing, taqwa, punya pendirian, menyejahterakan rakyatnya, taat peraturan dan tidak berat sebelah. Kalau kita lihat Bahasa Minangkabau kita akan banyak menemukan banyaknya bahasa perumpamaan dan kias yang merujuk kepada alam. Bahasa Minangkabau adalah bahasa simbolis yang dapat mengaktifkan otak kanan dan kiri, bermain antara alam rasa dan pikiran. Perumpamanan bahasa simbolis dan kias akan merangsang kecerdasan mereka yang masih kecil-kecil atau yang sudah dewasa sekalipun. Ada unsur tasurek (tersurat),
tasirek (tersirat) dan tasuruak (tersembunyi atau hikmah) dalam pusako kato Minangkabau.

Kata-kata kias memiliki makna berlapis yang telah diwarisi semenjak dahulu kala merupakan sarana untuk mengasah intelektual orang Minangkabau semenjak kanak-kanak di masa dahulunya. Kata-kata itu tidak saja indah diucapkan tetapi mengandung pengertian yang dalam dan menukik yang tentu saja diketahui dan difahami jika generasi sekarang masih mempergunakan bahasa
Minangkabau. Kemampuan menyusun bahasa yang indah itu juga dilaporkan oleh orang Mesir dari buku Khutub Khasanah yang ditulis pada sekitar awal abad ke 1 M, yang sekarang masih tersimpan di gedung Arca, Kairo menyebutkan adanya sebuah negeri pada sebuah pulau di bawah angin dimana wilayahnya merupakan perlintasan katulistiwa, terkenal dengan orang-orangnya ahli syair yang tinggi mutunya (Emral Djamal, 2003).

Nenek moyang kita menyadari bahwa orang yang mempunyai pengetahuan akan menjadi bangsa terhormat dan berpengaruh. Peran Nabi Muhammad SAW yang mengangkat bangsa Arab menjadi bangsa beradab dan berpengaruh selama abad pertengahan sebagai contohnya. Demikian juga bangsa Israel yang hanya 6 juta orang tapi memiliki banyak pakar-pakar ilmu dari berbagai bidang. Mereka sanggup mengatur sebuah negara adidaya Amerika dan Uni Eropa sehingga negara besar itu membiarkan saja mereka sewenang-wenang bahkan rela mati untuk bangsa Israel seperti apa yang diungkapkan didalam pidato mantan PM Malaysia dr.Mahathir Mohammad.

Marilah kita amati beberapa ungkapan-ungkapan lama warisan nenek moyang kita berikut ini tentang pentingnya ilmu pengetahuan. Ungkapan-ungkapan yang indah pada Pidato Siriah Pinang ini mengandung nilai simbolik yang tinggi bercerita tentang ilmu pengetahuan. Ilmu manakah yang dicari? Pepatah lama mengungkapkan bahwa ilmu yang dicari itu adalah ilmu yang dapat dipakai dan diterapkan dalam kehidupan nyata seperti ungkapan sabanyak itu siriah di balai, sado iko nan ado di dalam carano, iyo ka jadi kapalo baso (walaupun banyak ilmu pengetahuan--disimbolkan dengan sirih-- yang bertebaran di dunia, hanya pati-pati pengetahuan inilah yang akan digunakan di dalam kehidupan sehari-hari). Ilmu yang dikuasai itu hendaknya memiliki kemampuan untuk melintasi terpaan kekuasaan dan perubahan zaman (satahun dipuga Bugih, samusin dilingkuang Cino, usah ka ratak,
rangehpun tidak) serta bisa dipertahankan kebenarannya (luruih manahan tiliak, bababeh manahan cubo, bungka manahan asah). Para pendahulu kita yakin dengan kebenaran filosofi yang dimilikinya karena dasar dari filosofi tersebut merujuk kepada alam yang ditata dengan apik dan seimbang oleh Sang Pencipta. Hasil penataan yang luar biasa ini disebut sunatullah atau di dalam adat dinyatakan sebagai adat nan sabana adat, indak lakang dek paneh, indak lapuak dek hujan

Kesungguhan, kerja keras diiringi sikap yang saleh harus menjadi tabiat dari si penuntut ilmu agar ia tidak membuang sumber dayanya (waktu, uang dan usia) dengan sia-sia. Buah atau inti pengetahuan hanyalah untuk orang yang sungguh dan ulet yang diibaratkan urang kiramaik atau diungkapkan dengan kalimat: satahun tupai balari haram kok basobok jo buahnyo antah ko
urang kiramaik iduik-iduik.

Pati pengetahuan itu menjadi landasan untuk menciptakan inovasi-inovasi baru, gagasan-gagasan baru seiring dengan perkembangan zaman yang senantiasa berlandaskan dengan nilai-nilai luhur dan kemanusiaan seperti yang diungkapkan dalam: samusin siriah di dalam pangguluangan, usah ka layua, malah batambah iduik.

Orang yang memiliki ilmu pengetahuan akan menjadi terhormat di kalangan masyarakat (makanan rajo jo panghulu). Akhirnya ilmu pengetahuan yang dimiliki itu seharusnya membuat kita dekat dengan kehidupan bumi dan langit atau aspek spriritual (saheto dari bumi, sajangka dari langik). Kontribusi pengetahuan kepada masyarakat akan membuat kita dikenang sepanjang masa
(baun nan satahun palayaran).

Begitulah sekilas kutipan pidato sirih pinang yang menuntut orang Minangkabau memiliki pengetahuan dilandasi dengan iman dan ketaqwaan kepadaNya dan punya kepribadian tangguh dan ulet. Tak satupun dijumpai dalam pepatah petitih itu yang mengajari anak cucu Minangkabau menjadi orang yang biadab, anarkhis, inferior, licik, egois dan antisosial. Nilai-nilai berharga itu tentu saja hanya akan dipahami jika sang anak mengerti bahasa nenek moyangnya, yakni Bahasa Minangkabau.

Kita banyak mendengar dari saudara-saudara kita yang pulang dari luar negeri tentang sikap percaya diri orang-orang Jepang, Perancis, Jerman, Swedia, Perancis menggunakan bahasa mereka. Walaupun mereka bisa berbahasa Inggris, mereka tidak akan berbicara dengan kita dalam bahasa Inggris kalau tidak terpaksa. Sikap percaya diri ini merupakan wujud dari kesadaran mereka untuk mendukung dan menghargai bahasa mereka. Kita memang menyadari bahwa masa-masa yang sulit selama ratusan tahun dalam kungkungan penjajahan, tidak saja menguras kekayaan alam, tetapi juga mempengaruhi alam pikiran bangsa ini. Pembodohan yang berabad-abad selama terjajah menimbulkan rasa rendah diri dan tidak percaya diri atas kekuatan sendiri. Namun bukanlah pada tempatnya kita senantiasa terjebak dalam suasana rendah diri setelah menikmati alam kemerdekaan ini.

Budaya daerah adalah aset nasional, menghapus budaya Minangkabau berarti juga telah menyia-nyiakan aset nasional. Sungguh ironi sekali berbagai suku bangsa asing maupun dalam negeri dengan latar pendidikan tinggi jauh-jauh datang ke ranah Minang ini menghabiskan banyak waktu dan uang untuk mendapatkan pengetahuan dari budaya Minangkabau yang unik ini, sementara kita pemiliknya tidak lagi menghargai budaya sendiri. Menjaga kelestarian dan mengembangkan budaya alam Minangkabau adalah tanggung jawab kolektif oleh pewaris-pewaris budaya itu sendiri. Jika warisan ini tidak dihargai tentu bukan hal yang mustahil kalau 20-30 tahun lagi bahasa Minangkabau bisa menjadi bahasa langka didengar dalam percakapan sehari-hari
jika tidak diajarkan lagi pada generasi sekarang. Peran orang tua sangat menentukan sekali karena di tangan-tangan merekalah terletak andil pertama yang sangat menentukan riwayat bahasa Minangkabau di masa mendatang: apakah ia akan berkembang atau punah sama sekali ditelan bumi. Akan lenyapkah sebuah bahasa yang sarat dengan nilai-nilai serta punya kekuatan untuk pengembangan nalar dan alam rasa di bumi tempat budaya itu tumbuh?

Upaya pelestarian kato pusako ini telah dilakukan oleh orang-orang yang mencintai budaya Minangkabau ini. Sebut saja diantaranya: Angku Dt Sangguno Dirajo, Dt Tuah, Prof. Nasroen, Idrus Hakimy Dt Rajo Panghulu menyusun berbagai macam buku tentang Minangkabau, Kamardi Rais Dt P Simulie, Usaha PPIM (Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau) merancang ensiklopedi Minangkabau, Bapak Abdul Kadir Usman dengan Minangkabaunya, serta Bapak Emral Djamal Dt Rajo Mudo yang konsisten selama berpuluh-puluh tahun menggali sejarah dan silek yang sarat dengan nilai-nilai tradisi tanpa digaji oleh seorangpun dan masih ada lagi tokoh-tokoh yang tak tersebutkan namanya. Adanya kurikulum BAM di sekolah-sekolah cukup membantu siswa dalam belajar budaya Minangkabau. Pekerjaan yang luhur perlu kita hargai dan dukung dalam upaya pelestarian dan pengembangan budaya agar
tidak punah dimakan jaman. Sekarang ini banyak vocabulary Minangkabau yang hanya dikenali oleh orang-orang tua saja seperti limpato, lintabuang, sitawa, sidingin, panguba, cikarau, cikumpai, tantadu, sipasin, cindai dan banyak lagi. Usaha untuk membuat ensiklopedi dalam bentuk audio-visual dalam bentuk VCD sekarang ini mungkin telah dikategorikan sebagai hal yang mendesak untuk dilakukan.

Arus globalisasi sekarang ini bukanlah alasan buat kita mengubur budaya sendiri yang merupakan ciri khas dan identitas kita sebagai sebuah bangsa yang berdaulat dan merdeka. Mengidap sikap rendah diri (inferiority complex) sama sekali tidak dapat dibenarkan, demikian juga dengan sifat fanatik yang berlebih-lebihan, seperti diungkapkan dalam pepatah: dilabihi ancak-ancak, dikurangi sio-sio. Sudah bisakah kita menghargai kebudayaan sendiri tanpa meremehkan budaya sendiri atau mendewakan budaya orang lain di abad Milenium ini?

******
H.A.Sikumbang
Mahasiswa Program S2 Farmasi UI

Saturday, February 7, 2009

Ikhlas

Jika Ya jawabannya
alhamdulillah jawabku
Jika Tidak jawabannya
alhamdulillah jawabku

Ya atau tidak samasaja
dua-duanya baik
karena menuju ridhaNya...

Sunday, January 11, 2009

Pengamen Bule dari Kanada di Stasiun Ikebukuro

Inilah pekerjaan sampingan saya, jadi penyair dadakan, jadi penulis dengan alasan melatih kemampuan menulis disertasi. Apa bisa ya?... Silakan dibaca jika minat, setelah suntuk dengan rutinitas seperti rutinitas train yang mengantarkan kita ke kampus. Di sini benar2 hemat bicara sesama anggota kampus, mereka sibuk dengan kerja, atau memelototi komputer seharian. Pelajar asing lebih mudah diajak bicara dan bercanda....

Hari ini saya agak cepat pulang, baru jam setengah sembilan malam. Para sensei dan mahasiswa di lab kebanyakan belum pulang. Kantor dan Lab di sana adalah pusat segalanya. Di sana mereka makan, minum, diskusi dan sebagainya. Teman dari Srilangka bilang, mereka hang-out nya di kampus, bukan di bar. Jam kerja mereka bisa sampai 120 jam seminggu. Kerja mereka seperti kerja romusha di jaman pra kemerdekaan. Sepertinya ini benar mereka lakukan. Keluar dari gedung kampus, udara di luar sudah terasa dingin, suhu hari ini di Tokyo menunjukkan 11 C, dengan taksiran suhu tertinggi 13 C dan terendah 8 C. Dari Kampus berjalan kira-kira lima menit ke stasiun Hongo Sanchome dan naik train Marunochi Line ke Ikebukuro.

Di Ikebukuro saya keluar stasiun, ingin jalan-jalan dulu mengelilingi daerah di atas stasiun. Di sekitar stasiun di jumpai 2 grup pengamen bangsa Jepang dan sekaligus menjual hasil karya mereka. Di sana ada toko busana Hermes, kalau di Indonesia mereka cuma bisa ambil tempat di mal beberapa petak. Di sini merk2 mahal punya atau menempati gedung sendiri-sendiri. Saya pernah lihat sepatu tinggi merk Chanel untuk perempuan harganya murah sekali cuma JPY 210.000. Ya kira-kira Rp 23 juta buat sepatu musim dingin saja. Saking murahnya, jika benar-benar niat beli (mungkin tidak niat), maka harus puasa selama lebih dari 40 hari empat puluh malam tidak makan minum atau keluarkan uang satu yenpun untuk keperluan lain. Benar juga ya, kalau memang ingin mendapatkan sesuatu yang hebat dan berharga, kita harus puasa. Pada jaman dahulu orang puasa selama itu untuk dapat kesaktian, sekarang, mungkin buat beli sepatu Chanel, atau kamera canggih. Membaca di majalah sih pernah harga sepatu semahal itu, tapi melihat langsung, ya baru di sini, heheh. Apakah di Indonesia tidak ada toko yang menjual sepatu semahal itu? Pasti ada di Jakarta, saya tidak tahu dimana, kalaupun tahu, masuk ke sanapun tidak enak, suasananya demikian mewah dan ekslusif, ketahuan benar kita tidak bakal beli. Dan juga takut sama KPK, jangan-jangan mereka pasang kamera rahasia di sana. Masak PNS bisa beli sepatu harga segila itu. Heheheh.
Puas jalan-jalan, saya masuk ke stasiun lagi dan ternyata ada lagi pengamen di dalam stasiun di dekat gerbang masuk ke train Yurakucho Line. Pengamen ini rapi sekali, ini agak beda, karena satu ini bule. Ini adalah bule pertama yang saya jumpai jadi pengamen. Petikan gitar nada klasik dimainkannya dengan bersih dan bagus serapi stelan yang dia kenakan. Senyuman dan keramahannya menebar kepada penumpang stasiun yang singgah menyaksikan kelihaiannya memetik gitar. Nada melankolik Latinnya benar-benar menghanyutkan di tengah ramainya suasana stasiun. Jam segini orang-orang baru pulang kerja. Bule itu memberi brosur bahasa Jepang dan saya tolak sampai mengatakan saya tidak bisa membaca tulisan Kanji. Dia tanya saya dari mana, dan saya jawab dari Indonesia. Lalu dia mainkan sebuah lagu untuk saya. Dia menjual CD dengan kemasan yang bagus dan apik seperti CD di toko musik. Dua judul lagu telah dia mainkan, sepertinya selera musik kami sama yakni petikan-petikan minor melankolik Spanish. Ya anggaplah saya dan dia satu aliran musik. Bule ini berasal dari Kanada. Jauh benar dia ngamen ke Tokyo. Ini dibuktikan dengan bendera dengan gambar daun maple (Acer saccharum) merah di dekat dia duduk. Mengingat mainnya bagus sekali saya bertanya-tanya apakah ini pengamen top (maksudnya artis ternama) yang mencoba menyamar menjadi pengamen stasiunan. Sambil mendengar musik saya masukkan tangan ke saku celana dan teraba ada tiga uang koin. Dia koin itu saya tarok di tempat yang disediakan pengamen itu. Rupanya JPY 115. Mungkin inilah uang receh terbesar yang kasih untuk pertama kalinya kepada pengamen. Di saat krisis mata uang Indonesia, nilai Yen menguat terhadap rupiah, hari ini nilainya sekitar JPY 100 = IDR 11600. Jadi saya telah menyumbang untuk pengamen Rp.13,340. Nilai itu artinya satu kali mandi pakai koin di Dormitory tempat saya tinggal (JPY 100) ditambah dengan satu kali masak pakai kompor listrik (JPY 10), sisa JPY 5. Semuanya bayar di sini, kecuali pipis masih gratis.
Di sepanjang jalan bawah tanah stasiun Ikebukuro, ada kira-kira 5-6 gelandangan yang biasanya saya temui, mereka biasanya duduk dan tidur di tepi lorong stasiun yang lebarnya kira-kira 20 meter. Kehangatan lingkungan stasiun membuat mereka betah di sana dibandingkan dengan di luar yang udaranya dingin. Mereka ada yang berdiskusi sesama gelandangan sambil mengutak-atik handphone. Mungkin dia pakai sofutbangku (Softbank) kali heheheh, kan gratis sesama dari tengah malam sampai siang hari penuh. Saya belum berani tanya. Operator telpon Softbank umumnya dipakai oleh mahasiswa dan imigran yang berada di Jepang. Murah meriah dan puas, biaya bulanan sekitar JPY 900 - 1500 (sekitar Rp. 200ribu) dikasih HP gratis lumayan bagus lagi. Biaya telpon baru dikenakan dari jam 9 malam sampai jam 1 pagi. Setelah itu gratis. Ini kan option bagus buat kita-kita yang pas-pasan hidup di Jepang. Gelandanganpun pas-pasan hidupnya, ya mungkin saja dia pakai softbank kan? Ini adalah praduga bersalah. Semoga saya salah. Beberapa gelandangan ada yang tidur-tiduran, ada yang jadi penulis, entah apa yang ditulisnya, atau bikin haiku (puisi Jepang) kah? Krisis ekonomi juga melanda Jepang. Perdana menteri yang naik sekarang juga kata beberapa kaum terpelajar tidak terlalu pintar, tapi top. Mereka juga mengatakan tidak menjumpai gelandangan di Tokyo kira-kira 30 tahun yang lalu. Di sekitar stasiun Shinjuku lebih parah lagi, gelandangan tidur di sana dengan memakai kardus seperti gelandangan di Indonesia. Sekarang banyak orang yang jobless, lulus universitas belum jamin dapat kerja. Jadi sebagian jadi gelandangan, atau masuk ke dalam kehidupan remang-remang, atau mungkin bunuh diri menghamburkan diri ke rel train karena tidak tahan penderitaan hidup. Angka bunuh diri di Jepang pertahun kira-kira 30.000 kasus.
Saya tidak tahu apakah setelah train terakhir kira-kira jam 1 malam mereka diusir dari sana atau tidak. Stasiun tutup jam 1 malam, dan buka lagi kira-kira jam 5 pagi. Kalau diusir kasihan juga, mereka seharusnya mendapatkan tempat yang hangat di tengah malam yang dingin, eh malah di suruh ke alam terbuka. Nasib gelandangan Indonesia di musim hujan lebih baik dari mereka di musim dingin jika mereka tidak tidur di stasiun.

Melihat suasana malam ini saya teringat dengan pepatah nenek moyang dulu yang bunyinya kira-kira begini...
Jauah bajalan banyak nan diliek (Jauh berjalan banyak yang dilihat)
Lamo iduik banyak nan dirasoi (Lama hidup banyak yang dirasakan)
Adaik tuo manahan ragam (Sudah menjadi tabiat orang tua menahan hati, mengusap dada melihat tingkah laku manusia)
Adaik nan mudo manangguang rindu (Sudah tabiat bagi yang muda menanggung kerinduan yang dalam).

Karena saya masih muda, saya pun menanggung rindu yang dalam, kepada putri dan isteri tercinta, rindu suasana bercanda dengan teman2 di FKIK ketika mahasiswa sudah pulang, rindu pada palai bada, martabak mesir, pepes ikan mas, tongseng kambing, dan juga wajah mahasiswa saya yang lucu-lucu ketika ditanya di dalam kelas...

Tunggu ya tulisan berikutnya, semoga masih ada lagi....

Friday, January 9, 2009

Petunjuk


Stasiun Tokyo sangat besar
karena banyak jalur kereta yang mampir di sana
tapi ada petunjuk
tanda panah dan keterangan berupa kata atau kalimat
saya hanya menuruti
dan biasanya tidak tersesat

Alquran adalah petunjuk
buat kita kaum muslimin
Jika Allah sudah berkata sesuatu
demikian ringkas dan jelas
seperti arah panah di stasiun
kenapa harus ditafsir ulang lagi?
Bukankah Dia lebih Tahu
Lalu, mengapa kita merasa lebih pintar
dan mengajari Allah tentang agamaNya?

Tuesday, January 6, 2009

Todai di Musim Gugur



Daun Gingko berwarna kuning di musim gugur
menciptakan suasana memukau
di pinggir jalan menuju Akamon (Gerbang Merah) di dalam kawasan Univ. Tokyo

Anjing Mawu - Anjing Terlatih dan Denda Emas dalam Naskah Tanjung Tanah

Naskah Tanjung Tanah merupakan suatu naskah fenomenal bagi masyarakat Sumatera. Naskah itu ditulis dengan menggunakan aksara Sumatera Kuno d...