Saturday, March 25, 2017

Satuan Panjang di Minangkabau

Ada beberapa satuan panjang di Minangkabau, yakni
1. Jangka (jengkal) : jarak antara ibu jari dan telunjuk ketika direntangkan  (kurang lebih 17-19 cm)
2. Eto (hasta) : jarak antara siku dan ujung jari tengah (kurang lebih 44-45 cm)
3. Dapo (depa) : jarak ketika dua tangan direntangkan ( kurang lebih 160-170 cm) 

Ukuran saya pribadi kira-kira begini: sajangka (satu jengkal) 18 cm, saeto 44.5 cm dan sadapo 165 cm. Tentu saja ada variasi individu ukuran-ukuran ini.

Ada beberapa pepatah yang terkait dengan penggunaan satuan panjang, yakni nan sajangka jadi saeto, nan saeto jadi sadapo (yang satu jengkal jadi satu hasta, yang satu hasta jadi satu depa). Adapun arti dari pepatah itu adalah jika suatu cerita atau informasi, pada awalnya sederhana saja, tapi setelah menyebar dan berpindah dari mulut ke mulut akan timbul banyak variasi atau versinya. Tentu saja cerita itu sudah menjadi lebih heboh (dibesar-besarkan) dibandingkan dari kisah sebenarnya.


Saturday, March 11, 2017

Pisau Siraut Berhamon


Sirauik bari bahulu                Pisau siraut diberi hulu atau gagang
Diasah mako bamato             Diatas supaya tajam (muncul mata pisau)
Lauik sajo sajak dahulu          Laut saja semenjak dahulu
Kudian manjadi Pulau Paco    Lalu muncul Pulau Perca (Sumatera)

Pisau seraut atau siraut (dalam bahasa Minangkabau dikenal dengan pisau sirauik) merupakan salah satu bentuk pisau tradisional Indonesia. Pisau ini tidak boleh jadi pakaian seorang datuk atau pemimpin suku. Pakaian seorang datuk adalah keris, yang merupakan simbol kepemimpinan. Saya tidak tahu persis filosofi di balik ini, kalau boleh saya berspekulasi larangan ini mungkin ada kaitan dengan filosofi seorang pemimpin. Seorang datuk diharapkan mengelola sumber daya yang ada apakah itu alam dan manusianya, bukan malah menghabiskan waktu untuk mengerjakan hal-hal teknis yang seharusnya bisa dikerjakan oleh para ahlinya masing-masing. Itu bukan berarti seorang datuk tidak bisa bekerja. Ketika dia "memegang posisi" sebagai datuk, ia harus berpikir layaknya seorang pemimpin negara. 

Pisau siraut juga dikenal di tataran Sunda, masyarakat Dayak Kalimantan dan tentu saja di kawasan lain di Indonesia. Masyarakat Betawi juga memiliki pisau seraut. Ternyata menurut salah seorang anggota Golok Depok, pisau siraut tak hanya untuk keperluan praktis, tapi juga merupakan senjata andalan ketika senjata lain tidak mempan lagi. Pisau siraut berfungsi sebagai alat untuk mengerjakan kerajinan tangan dari kayu secara umum dan tentu saja pisau ini bisa digunakan untuk keperluan lain. Oleh karena pisau ini dikenal umum oleh masyarakat Nusantara, tentunya kita akan mendapati variasi bentuk pisau seraut di antara berbagai suku bangsa di Indonesia.

Ada yang menarik dari pisau buatan salah seorang pandai modern, Dadan Sudjati dari Indonesian Blades tepatnya dari Kampus Bamboe. Dia memberikan hamon pada bilahnya, sehingga terjadilah kombinasi cantik dua budaya, yakni budaya lokal Nusantara dan budaya Jepang. Pisau siraut berhamon tidak dikenal di Jepang dan di Indonesia. Jepang tentu saja punya "pisau siraut" sendiri menurut versi mereka. Tak ada pisau siraut yang diberi  hamon secara tradisional yang dihasilkan oleh pandai lokal di Indonesia. Ini adalah wujud kreativitas yang memadukan dua budaya. Hamon ini adalah tradisi pandai besi dari Jepang. Tujuan dari pembuatan hamon ini adalah untuk memberikan kekerasan pada mata bilah sekaligus kelenturan pada punggungnya sehingga diperoleh pisau yang tajam sekaligus lentur. Teknik ini fungsional untuk sebilah pedang. Menurut kisah, tradisi ini diawali dari Amakuni pada abad ke 7 masehi, kira-kira pada awal abad kerajaan Sriwijaya berkembang di Nusantara. Hamon adalah bahasa jepang (刃文) jika dua karakter ini diterjemahkan secara harfiah artinya adalah pola/corak bilah/pisau (blade pattern).

Pisau seraut berhamon merupakan bentuk dari kreativitas anak bangsa. Dua akar budaya telah ditemukan pada sebilah pisau. Baja dari pisau ini berasal dari SK-5 Hitachi, baja yang mengandung karbon 0.8-0.9% . Kandungan bajanya cukup untuk membuat pisau ini tajam dan berguna, tentu saja pisau ini sebaiknya disimpan dalam keadaan kering karena baja ini tidak seperti stainless steel yang lebih tahan terhadap karat. 

Kayu yang dipakai untuk gagangnya berasal dari akar kayu sonokeling (Indian rosewood, Bombay blackwood atau Java palisander) yang dikenal dengan nama biologi Dalbergia latifolia) (sumber: Wikipedia). Kayu sonokeling tergolong kayu yang keras dan awet, disamping itu, kayu ini juga  menghasilkan iro (pattern) kayu yang cantik. 

Kita mengharapkan agar para pandai besi Indonesia modern tidak hanya menghasilkan pisau-pisau yang bagus, ergonomik dan fungsional tapi juga tetap mempertahankan karakter budaya Indonesia pada karya ciptanya. Pisau tidak hanya sebagai alat yang fungsional tapi juga salah satu perlengkapan penting dalam kegiatan serimonial adat-adat di Nusantara contohnya keris pada pengangkatan datuk di Minangkabau (Sumatera Barat). Adanya sentuhan budaya Indonesia pada karya pandai modern diharapkan akan memberikan ciri khas pada pisau yang hasilkan. Hal ini senada juga diungkapkan oleh Bang Idin, pengasuh Sangga Buana di Karang Tengah, Jakarta Selatan ketika memberikan sambutan pada saat selamatan pendirian workshop Kampus Bamboe di lokasi yang sama tanggal 9 Maret 2017. Pisau-pisau berkarakter tersebut tentunya akan menjadi ciri khas dari karya pandai pisau atau bladesmith Indonesia. Parang atau golok sudah menjadi kosa kata Internasional. Kita berharap pisau siraut tampil menjadi salah satu incaran kolektor pisau internasional sehingga meningkatkan citra pandai besi Indonesia di tingkat Internasional. Semoga.




 

Anjing Mawu - Anjing Terlatih dan Denda Emas dalam Naskah Tanjung Tanah

Naskah Tanjung Tanah merupakan suatu naskah fenomenal bagi masyarakat Sumatera. Naskah itu ditulis dengan menggunakan aksara Sumatera Kuno d...