Monday, June 26, 2017

Malam Qadar

Malam Qadar merupakan malam saat Alquran diturunkan kepada Nabi Muhammad. Malam itu merupakan malam yang istimewa yang dikatakan dalam Alquran sebagai malam yang lebih baik dari 1000 bulan atau 83.3 tahun (QS 97:3). Sekarang sudah 1400 tahun lebih umur kitab Alquran semenjak diturunkan. Ini sudah membuktikan bahwa malam ketika Alquran diturunkan telah melewati umur ribuan tahun, jauh melebihi 1000 bulan. Pada ayat lain dikatakan bahwa Alquran itu diturunkan pada bulan Ramadhan (QS 2:185). Dengan demikian, kita mengetahui bahwa malam istimewa atau Malam Qadar itu terjadi pada bulan Ramadhan. Pada surat Alqadar kita bisa mendapatkan informasi lebih lanjut bahwa pada malam itu malaikat dan ruh turun ke bumi untuk suatu urusan. Urusan yang besar, yakni menurunkan Alquran yang digunakan sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa (QS 2:2).

Ayat Alquran lain mengungkap bahwa jika Alquran ini diturunkan kepada gunung, akan pecahlah gunung tersebut karena kekuatannya (QS 59:21). Manusia sanggup menerima kitab Allah ini dengan jiwa dan raganya. Pasti ada keistimewaan manusia dibandingkan dari ciptaan Allah yang lain di muka bumi. Manusia dijadikan Allah sebagai khalifatul fir ardh (pemimpin di muka bumi). Manusia bisa membikin bumi ini rusak atau terpelihara dengan baik.

Lalu, untuk siapakah Alquran diturunkan? Alquran akan bermanfaat bagi orang yang ingin mendapatkan petunjuk bagaimana menjadi orang yang bertaqwa (QS 2:2). Apakah tanda-tanda orang yang bertaqwa itu? Tanda-tandanya adalah beriman kepada yang ghaib, mendirikan shalat, menafkahkan harta, beriman kepada Alquran, mempercayai kehidupan Akhirat (QS 2:3-4).

Orang yang bertaqwa kelak disediakan surga oleh Allah (QS 3:133). Surga itu merupakan suatu tempat yang indah dan elok. Manusia kekal tinggal di dalamnya. Di surga itu tumbuh bermacam pohon-pohon (QS 36:57) dan sungai mengalir di bawahnya (QS 2:25). Hadits dari Bukhari meriwayatkan bahwa suasana surga itu belum pernah terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga dan terlintas dalam pikiran seseorang.

Rabi'ah Al Adawiyah dalam suatu kutipannya yang ekstrim mengatakan bahwa "jika aku menginginkan surga, maka lenyapkanlah surga itu di hadapanku". Beliau sudah mencapai derjat cinta ilahiah yang tinggi. Suatu cinta yang tidak menghendaki apa-apa lagi kecuali balasan cinta dari sang kekasih sejati, Allahu rabbul 'alamin. Sebuah cinta yang melihat suatu pengorbanan terhadap kekasih itu bukanlah sebuah bisnis yang musti ada rugi laba. Pengorbanan bagi seorang pecinta adalah sebuah tindakan cinta yang sering berakhir tragis dalam temali sejarah. Kita melihat ulah pecinta ini sebagai suatu paradoks. Ringis deritanya adalah sebuah senyuman manis dan binar matanya laksana seorang bocah..! 

Indikator cinta berbalas adalah jiwanya yang dilingkupi ketenangan yang dalam. Adakah yang lebih baik dari itu? Yang jelas dalam teks Alquran jelas bahwa yang pertama dicari itu adalah ridha Allah. Oleh karena Allah sudah ridha, kita akan mendapatkan pahala (QS 4:114), menjadi orang yang beruntung (QS 30:38) dan diberikan petunjuk jalanNya (QS 29:69) (sumber). Disinikah cinta dan ridha bertemu?

Saturday, March 25, 2017

Satuan Panjang di Minangkabau

Ada beberapa satuan panjang di Minangkabau, yakni
1. Jangka (jengkal) : jarak antara ibu jari dan telunjuk ketika direntangkan  (kurang lebih 17-19 cm)
2. Eto (hasta) : jarak antara siku dan ujung jari tengah (kurang lebih 44-45 cm)
3. Dapo (depa) : jarak ketika dua tangan direntangkan ( kurang lebih 160-170 cm) 

Ukuran saya pribadi kira-kira begini: sajangka (satu jengkal) 18 cm, saeto 44.5 cm dan sadapo 165 cm. Tentu saja ada variasi individu ukuran-ukuran ini.

Ada beberapa pepatah yang terkait dengan penggunaan satuan panjang, yakni nan sajangka jadi saeto, nan saeto jadi sadapo (yang satu jengkal jadi satu hasta, yang satu hasta jadi satu depa). Adapun arti dari pepatah itu adalah jika suatu cerita atau informasi, pada awalnya sederhana saja, tapi setelah menyebar dan berpindah dari mulut ke mulut akan timbul banyak variasi atau versinya. Tentu saja cerita itu sudah menjadi lebih heboh (dibesar-besarkan) dibandingkan dari kisah sebenarnya.


Saturday, March 11, 2017

Pisau Siraut Berhamon


Sirauik bari bahulu                Pisau siraut diberi hulu atau gagang
Diasah mako bamato             Diatas supaya tajam (muncul mata pisau)
Lauik sajo sajak dahulu          Laut saja semenjak dahulu
Kudian manjadi Pulau Paco    Lalu muncul Pulau Perca (Sumatera)

Pisau seraut atau siraut (dalam bahasa Minangkabau dikenal dengan pisau sirauik) merupakan salah satu bentuk pisau tradisional Indonesia. Pisau ini tidak boleh jadi pakaian seorang datuk atau pemimpin suku. Pakaian seorang datuk adalah keris, yang merupakan simbol kepemimpinan. Saya tidak tahu persis filosofi di balik ini, kalau boleh saya berspekulasi larangan ini mungkin ada kaitan dengan filosofi seorang pemimpin. Seorang datuk diharapkan mengelola sumber daya yang ada apakah itu alam dan manusianya, bukan malah menghabiskan waktu untuk mengerjakan hal-hal teknis yang seharusnya bisa dikerjakan oleh para ahlinya masing-masing. Itu bukan berarti seorang datuk tidak bisa bekerja. Ketika dia "memegang posisi" sebagai datuk, ia harus berpikir layaknya seorang pemimpin negara. 

Pisau siraut juga dikenal di tataran Sunda, masyarakat Dayak Kalimantan dan tentu saja di kawasan lain di Indonesia. Masyarakat Betawi juga memiliki pisau seraut. Ternyata menurut salah seorang anggota Golok Depok, pisau siraut tak hanya untuk keperluan praktis, tapi juga merupakan senjata andalan ketika senjata lain tidak mempan lagi. Pisau siraut berfungsi sebagai alat untuk mengerjakan kerajinan tangan dari kayu secara umum dan tentu saja pisau ini bisa digunakan untuk keperluan lain. Oleh karena pisau ini dikenal umum oleh masyarakat Nusantara, tentunya kita akan mendapati variasi bentuk pisau seraut di antara berbagai suku bangsa di Indonesia.

Ada yang menarik dari pisau buatan salah seorang pandai modern, Dadan Sudjati dari Indonesian Blades tepatnya dari Kampus Bamboe. Dia memberikan hamon pada bilahnya, sehingga terjadilah kombinasi cantik dua budaya, yakni budaya lokal Nusantara dan budaya Jepang. Pisau siraut berhamon tidak dikenal di Jepang dan di Indonesia. Jepang tentu saja punya "pisau siraut" sendiri menurut versi mereka. Tak ada pisau siraut yang diberi  hamon secara tradisional yang dihasilkan oleh pandai lokal di Indonesia. Ini adalah wujud kreativitas yang memadukan dua budaya. Hamon ini adalah tradisi pandai besi dari Jepang. Tujuan dari pembuatan hamon ini adalah untuk memberikan kekerasan pada mata bilah sekaligus kelenturan pada punggungnya sehingga diperoleh pisau yang tajam sekaligus lentur. Teknik ini fungsional untuk sebilah pedang. Menurut kisah, tradisi ini diawali dari Amakuni pada abad ke 7 masehi, kira-kira pada awal abad kerajaan Sriwijaya berkembang di Nusantara. Hamon adalah bahasa jepang (刃文) jika dua karakter ini diterjemahkan secara harfiah artinya adalah pola/corak bilah/pisau (blade pattern).

Pisau seraut berhamon merupakan bentuk dari kreativitas anak bangsa. Dua akar budaya telah ditemukan pada sebilah pisau. Baja dari pisau ini berasal dari SK-5 Hitachi, baja yang mengandung karbon 0.8-0.9% . Kandungan bajanya cukup untuk membuat pisau ini tajam dan berguna, tentu saja pisau ini sebaiknya disimpan dalam keadaan kering karena baja ini tidak seperti stainless steel yang lebih tahan terhadap karat. 

Kayu yang dipakai untuk gagangnya berasal dari akar kayu sonokeling (Indian rosewood, Bombay blackwood atau Java palisander) yang dikenal dengan nama biologi Dalbergia latifolia) (sumber: Wikipedia). Kayu sonokeling tergolong kayu yang keras dan awet, disamping itu, kayu ini juga  menghasilkan iro (pattern) kayu yang cantik. 

Kita mengharapkan agar para pandai besi Indonesia modern tidak hanya menghasilkan pisau-pisau yang bagus, ergonomik dan fungsional tapi juga tetap mempertahankan karakter budaya Indonesia pada karya ciptanya. Pisau tidak hanya sebagai alat yang fungsional tapi juga salah satu perlengkapan penting dalam kegiatan serimonial adat-adat di Nusantara contohnya keris pada pengangkatan datuk di Minangkabau (Sumatera Barat). Adanya sentuhan budaya Indonesia pada karya pandai modern diharapkan akan memberikan ciri khas pada pisau yang hasilkan. Hal ini senada juga diungkapkan oleh Bang Idin, pengasuh Sangga Buana di Karang Tengah, Jakarta Selatan ketika memberikan sambutan pada saat selamatan pendirian workshop Kampus Bamboe di lokasi yang sama tanggal 9 Maret 2017. Pisau-pisau berkarakter tersebut tentunya akan menjadi ciri khas dari karya pandai pisau atau bladesmith Indonesia. Parang atau golok sudah menjadi kosa kata Internasional. Kita berharap pisau siraut tampil menjadi salah satu incaran kolektor pisau internasional sehingga meningkatkan citra pandai besi Indonesia di tingkat Internasional. Semoga.




 

Anjing Mawu - Anjing Terlatih dan Denda Emas dalam Naskah Tanjung Tanah

Naskah Tanjung Tanah merupakan suatu naskah fenomenal bagi masyarakat Sumatera. Naskah itu ditulis dengan menggunakan aksara Sumatera Kuno d...